Kamis, 30 Desember 2010

Pentingnya Dakwah Bi al-Hal

Pengertian Dakwah
            Dalam bukunya Fiqhud Dakwah, Muhammad Natsir mengatakan bahwa ada tiga metode dakwah yang relevan disampaikan ditengah masyarakat yakni dakwah bi al- lisan, bi al-kalam, dan yang terakhir bi al-hal.[1] Dalam prakteknya dewasa ini, baru dakwah bi al-lisan yang  sering dilakukan. Sementara dakwah bi al-kalam dan bi al-hal masih jauh dari harapan.  Terlepas dari itu semua pengertian dakwah apabila diibaratkan seperti lampu kehidupan, yang memberikan cahaya dan menerangi jalan kehidupan yang lebih baik, dari kegelapan menuju terang benderang, dari keserakahan menuju kedermawanan. Dakwah merupakan bagian yang cukup terpenting dalam bagi umat saat ini tatkala manusia dilanda kegersangan spiritual, rapuhnya akhlak, maraknya korupsi, kolusi dan manipulasi, ketimpangan sosial, kerusuhan, kecurangan dan sederet tindakan-tindakan lainnya. Jelas bahwa dakwah merupakan seruan atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha mengubah situasi yang buruk kepada situasi yang lebih baik dan  sempurna.


Muhammad  SAW Melaksanakan Dakwah Bi al-Hal
            Kalau kita mau melihat sejarah Muhammad SAW dalam menyampaikan dakwahnya, ia tidak hanya bertabligh, mengajar, atau mendidik dan membimbing, tetapi juga sebagai uswatun hasanah. Ia juga memberikan contoh dalam pelaksanaanya, sangat memperhatikan dan memberikan arahan terhadap kehidupan sosial, ekonomi seperti pertanian, peternakan, perdagangan dan sebagainya.[2]
 Dakwah Nabi pun dalam periode Mekkah penuh dengan pengorbanan-pengorbanan baik raga, harta benda, bahkan jiwanya terancam akibat percobaan pembunuhan serta yang lebih berat lagi adalah korban perasaan, dari pada fitnah berupa ejekan, cemooh, cerca, penderitaan karena dikucilkan dan sebagainya. Demikian pula dalam periode Madinah para sahabat dan para pengikut Nabi, mereka bekerja keras dalam berbagai sektor kehidupan sosial, ekonomi dan sebagainya, orang-orang dari Anshor sebagian memberikan tanahnya, ternaknya, hartanya, kepada orang-orang Muhajirin yang telah kehabisan bekal. Rasul menghimpun harta benda untuk kepentingan pertahanan negara dan sebagainya.[3]
            Jelaslah bahwa kalau kita mau bercermin pada sejarah Nabi, telah memberikan suritauladan dalam hidup dan melakukan dakwahnya beliau senantiasa menunjukkan satunya kata dengan tindakan. Nabi menunjukkan adanya kesatuan antara ucapan dan dengan perbuatan. Beliau tidak hanya hidup berdo’a dan berkhutbah, tanpa melakukan aksi sosial kemasyarakatan.

Merubah Paradigma Dakwah
Dari teladan dakwah yang demikian, maka sesungguhnya dakwah bukanlah sekedar retorika belaka, tetapi harus menjadi teladan tindakan sebagai dakwah pembangunan secara nyata. Ini dikarenakan akibat semakin meluasnya dan semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat yang perlu menerima dakwah, jadi dakwah harus menjadi “komunikasi non verbal” atau dakwah bi al-hal. Dalam artian bahwa, lembaga tidak hanya berpusat di masjid-masjid, di forum-forum diskusi, pengajian, dan semacamnya. Dakwah harus mengalami desentralisasi kegiatan. Ia harus berada di bawah, di pemukiman kumuh, di rumah-rumah sakit, di teater-teater, di studio-studio film, musik, di kapal laut, kapal terbang, di pusat-pusat perdagangan, ketenagakerjaan, di pabrik-pabrik, di tempat-tempat gedung pencakar langit, di bank-bank, di pengadilan dan sebagainya.[4]
Model dakwah yang dilakukan secara verbal, oratorik dengan teks-teks al Qur’an dan Sunnah menempatkan dakwah dan pelakunya eksklusif selain menyimpang dari rahmatan lil ‘alamin dan juga dari tradisi kenabian Muhammad SAW. Hal itu meyebabkan kegagalan menampilkan Islam sebagai sesuatu yang menarik dan baik bagi semua orang dalam ragam hirarki keagamaan (santri abangan) faham keagamaan, golongan dan kelas. Bahkan merangkap Islam menjadi agama elit yang tidak terbuka bagi orang awam dan si miskin serta hanya beredar di dalam dirinya sendiri.[5]
Karenanya dakwah penting mempertimbangkan tujuan lebih luas yang bisa diperankan hampir semua orang yang berminat menebarkan praksis, dan praktik kebaikan, keadilan, kesejahteraan, dan kecerdasan. Dakwah adalah kegiatan seni-budaya, politik, penelitian dan pengembangan iptek, produksi, pemasaran, jasa dan perdagangan, pendidikan, dan pers serta pembelaan mereka yang tertindas, melarat dan kelaparan. Dakwah bukan hanya khutbah, pengajian dan kepesantrenan atau hanya bagi lembaga dengan nama resmi Islam yang hanya melibatkan suatau kelas keagamaan (santri).[6]
Dakwah seyogyanya diletakkan di atas fondasi promosi kemanusiaan sehingga memperoleh kemajuan empiris di bidang kesehatan mental dan jasmani, ekonomi, hak politik, cita rasa budaya, kecerdasan emosi dan pikiran, kekayaan informasi serta sikap kritis. Dengan dakwah orang bisa melampaui batas dan perangkap materialisasi sistem, negara dan syari’ah, untuk sampai ke suatu fase spiritual dan metafisis yang bebas di antara sesama dan dihadapan Tuhan.[7]

Optimalisasi dan Peran Organisasi/Lembaga Dakwah Dakwah bi al-Hal
            Dalam al-Qur’an surat Ali Imron ayat 104 Allah menyebutkan, “Adakanlah di antara kamu umat yan mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang baik dan melarang untuk berbuat kemungkaran. Mereka itulah orang-orang beruntung”. Ayat ini dijadikan landasan bagi bagi banyak organisasi/lembaga dakwah, dalam mendirikan organisasi/lembaga dakwah, dan bagi menyusun strategi dakwah. Dalam ayat ini umat Islam di perintahkan untuk mengadakan suatu badan/kelompok yang mengambil tugas mengerjakan dakwah.
Tetapi hingga kini kegiatan lembaga-lembaga dakwah Islam yang dikelola oleh kalangan cendikiawan masih memberikan kesan adanya ciri-ciri intelektual salon. Masih kebanyakan diantara kegiatan itu berbentuk serasehan, diskusi, seminar dan pernyataan dan pernyataan-pernyataan yang politis atau kegiatan publisitas. Sedangkan kegiatan di lapangan masih relatif sedikit. Banyak diantara lembaga dakwah kurang terjun ke bawah. Semuanya masih memberikan kesan yang elitis. Kalaupun ada kegiatan yang merakyat sifatnya masih memberi kesan amat politis. Program-progam dakwah yang dijalankan masih kurang nyambung dengan lapisan masyarakat bawah.[8]


[1] Hamdan Daulay, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, (Yogyakarta: LESFI, 2001). hal 4.
[2] H.S. Prodjokusumo,…., hal.222.
[3] Ibid…hal.226
[4] Andi Abdul Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001) hal. 133
[5] Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002). hal.215
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Andi Abdul Muis,..., hal.143

Tidak ada komentar:

Posting Komentar